PERISTIWA 

Penyair Aceh Faridha Kembali Warnai Perpuisian Indonesia

JAKARTA (litera) – Penyair Aceh Faridha meluncurkan buku Suatu Waktu, Suatu Ruang, Ketika Hati Menyentuh Kata di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Jakarta, Sabtu, 4 Januari 2025. Acara ini diawali dengan pembacaan puisi yang menawan dari Devie Matahari, Fikar W. Eda, Imam Ma’arif, dan Helvy Tiana Rosa, menciptakan suasana hangat dan penuh makna. Setelah parade puisi dilanjutkan dengan diskusi membahas puisi-puisi dalam buku tersebut dengan pembicara kritikus sastra Maman S. Mahayana dan sastrawan D. Kemalawati, serta penyair Mustafa Ismail bertindak sebagai moderator.

Puisi Tanpa Beban

Dalam pemaparannya, Maman S. Mahayana menyoroti keunikan gaya puisi Faridha yang dianggapnya mengalir alami dan jujur. “Puisi Faridha memberikan pengalaman personal yang dapat dirasakan secara universal,” ungkapnya. Sementara itu, D. Keumalawati mengenang kontribusi Faridha pada era 1990-an sebelum vakum dari dunia kepenyairan Aceh dan hijrah ke Jakarta. “Kini, ia kembali dengan karya yang menggembirakan,” katanya.

Faridha, kelahiran Pulau Weh, Sabang, pada 16 September 1968, mulai menulis sejak remaja. Dorongan dari sang ibu yang mencintai sastra menjadi awal mula perjalanannya. Puisi-puisinya kerap muncul di koran lokal Aceh, seperti Serambi Indonesia dan Aceh Post. Ia juga menulis cerita pendek yang dimuat di majalah populer seperti Anita Cemerlang dan Gadis, serta novelet untuk Kartini.

Meski dikenal di dunia sastra, Faridha juga memiliki latar belakang akademik yang kokoh. Ia menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Teknik Kimia, Universitas Syiah Kuala, dan meraih gelar master dan doktor di Universitas Indonesia. Sejak 1995, ia berkarier di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Momentum Kembali ke Dunia Sastra

Peluncuran buku Suatu Waktu, Suatu Ruang, Ketika Hati Menyentuh Kata menjadi momentum kembalinya Faridha ke dunia sastra setelah sekian lama menghilang. Buku ini disebut sebagai representasi suara perempuan Aceh yang kuat dan mampu memberikan perspektif khas budaya Aceh.

“Buku-buku yang dibaca ibu saya menjadi inspirasi awal. Saya berharap karya-karya ini dapat menyentuh hati pembaca,” ungkap Faridha.

Sejumlah penulis seperti Murizal Hamzah dan Fanny J Poyk ikut menjadi penanggap diskusi itu.

Di sela-sela sesi diskusi dan akhir acara tampil pula kelompok musikalisasi puisi oleh Sasina IKSI FIB UI dan baca puisi oleh Oktavianus Masheka, Faridha, dan lain-lain. @ rls/red

Related posts

Leave a Comment

three + 19 =