CERPEN 

Pemburu Katak Hijau

Malam semakin kembung. Tomo mengendap dalam gelap, meniti jalan pematang menuju sawah yang baru selesai dipanen. Ia hanya dibantu sorot senter korek kecil, yang kesekian kali meredup-redup. Rembulan tidak muncul barang setitik pun di langit. Bintang-bintang yang mengilap termakan awan hitam.

Tomo berkali-kali terpeleset oleh rolak berlumut yang melintang sepanjang jalan setapak itu. Angin malam bersiul tajam. Mengeraskan setiap langkahnya. Di tangan kirinya, ia lambai-lambaikan sinar kecil itu—amat kecil bila dibanding kegelapan malam yang pekat dari kacamata langit.

Dahi Tomo yang sebelumnya tertempel senter tunggal, kini terpaksa ia menguncinya di rumah sebab rusak karena di malam sebelumnya kemasukan lumpur ketika gagal menyergap katak hijau. Dahinya malam itu tertancap di lumpur cukup dalam.

Malam ini ia harus mengumpulkan katak hijau banyak-banyak, sebab dari hari ke hari pesanan semakin membuncit.

Tomo adalah satu-satunya orang yang menekuni profesi sebagai pemburu katak hijau di kampungnya. Memang pernah ada, beberapa warga mencoba menyainginya. Namun setiap mereka pulang, hanya menenteng wadah yang berisi udara, kosong, dan perasaan hampa. Kadang yang tertangkap ialah katak kecil yang tak layak jual. Rupanya menangkap katak memerlukan bakat alami. Dan itu ialah milik Tomo, keahliannya telah turun-temurun.

Katak tangkapan Tomo selalu membahagiakan para pelanggannya. Tidak hanya soal rasa yang jadi unggulan, namun juga berkhasiat menambah keperkasaan di ranjang. Untuk urusan itu, apa pun pekerjaannya jika dikaitkan dengan ranjang memang hampir selalu membawa keuntungan yang lebih dari cukup. Namun bukan itu tujuan Tomo menekuni warisan sebagai pemburu katak hijau. Ia melakukannya atas dasar hobi semata.

Dari hasil penjualan katak-katak hijau itu, Tomo bisa menggandakan petak-petak sawah, merenovasi rumah, juga masih bisa ditabung sisanya di BRI.

Seekor katak hijau biasa ia dipatok lima ribu rupiah, kadang-kadang oleh orang kaya yang merasa lebih jantan setelah makan katak milik Tomo, tak tanggung-tanggung mereka memindahtangankan uang beberapa ratus ribu hingga jutaan ke tangan lelaki berdahi lapang itu. Tomo tidak peduli dan tak mau cari peduli apakah uangnya haram atau halal. Baginya yang penting uang; yang cukup memenuhi perut dan dompet.

***

Hari ke hari, dompet Tomo semakin subur. Telah selayaknya hidup, jika ada yang menyukai, tentu ada pula yang membenci. Satu-satunya yang menyukai Tomo adalah istrinya, yang telah berdomisili di rumah yang baru: pekuburan, sebelum memberi seorang anak. Meski Tomo hidup berkecukupan, namun ia kerap merasa sendirian karena tiada teman satu kamar yang bisa menghibur kesepiannya.

Mulanya, para warga amat membuka lengan terhadap Tomo. Berkat hasil dari penjualan katak hijau itu, masjid-masjid dan fasilitas bangunan bisa sesempurna kini. Berkeramik, dan nyaman. Tak seperti sebelumnya. Namun, kesempurnaan itu begitu kandas setelah Pak RT mempertanyakan uang Tomo. “Segala yang berawal dari yang haram, tentu dampaknya akan haram juga. Dan itu harus menjadi tanggung jawab bersama untuk menegur bagi siapa saja yang melanggar ketentuan Tuhan,” begitu katanya pada tetangga kanan-kiri.

Maka, berkumpullah mereka itu di rumah Pak RT. Pandangan demi pandangan memenuhi seisi rumah. Riuh. Penuh umpatan. Mendiskusikan soal upaya penyadaran terhadap tingkah laku Tomo.

“Tak bisa dibiarkan! Pasti dia menggunakan ilmu hitam!” desak seseorang.

“Mungkin juga pesugihan! Dia selalu memakai cincin pada waktu berburu katak! Itu pasti cincin iblis.”

“Barangkali bersekutu dengan setan,” timpa yang lain.

“Alaaa, Najis!”

Perkumpulan warga kampung saling kompak menerka-nerka dalam diskusi panjang yang berbaur di rumah Pak RT. Setelah keputusan runcing, barulah mereka setuju bahwa segala urusan akan diserahkan pada Pak RT.

“Sekarang, mari kita bersama-sama ke rumah Tomo,” ajak Pak RT.

Tomo ketika itu sedang menikmati apem terlezat yang dibelinya dari Mbah Badriah—pedagang keliling—pagi itu, setelah menerima honor yang cukup tebal pemberian seorang kaya dari luar daerah.

Ketika sedang asyik menghitung-hitung uang laba, tiba-tiba ada sebuah gedoran pintu. Keras dan berisik.

“Mo!”

“Sebentar,” Tomo melangkah lesu menuju ke ambang pintu. Membuka dan terpaku pada seseorang yang berdiri di hadapannya. “Pak RT!”

Tomo terperanjat ketika melihat apa yang ada di balik tubuh Pak RT. Seluruh pemuda dan kepala rumah tangga di kampung memenuhi halaman rumahnya yang sempit.

Lho, ada apa ini, Pak RT?”

“Begini, Mo. Saya terus terang saja. Demi keamanan warga, kami butuh penjelasan.”

“Penjelasan apa, Pak RT?” Tomo mulai gelisah.

“Apa benar, kamu bersekutu dengan setan?”

“Tidak! Sama sekali tidak!”

“Baiklah, tapi serahkan cincinmu supaya tidak meresahkan warga lagi.”

“Mau diapakan cincin saya?” Tomo mengarahkan pandangannya ke cincin yang melingkar di jari tengah tangan kanannya.

“Akan kami buang ke aliran Kali Gowong.”

“Maaf, ini satu-satunya kenangan dari istri saya, bukan pemberian setan!” teriak Tomo yang kali itu gugup menyembunyikan cincinnya ke saku celana belakang.

“Bohong itu, Pak! Itu bohong! Jangan biarkan di kampung ini ada yang bersekutu dengan setan!” salah satu warga menyerang.

“Saya mohon, Mo. Demi keharmonisan antarwarga kampung,” kata Pak RT dengan wajah yang dipaksakan senyumnya.

Hhh … Tomo menghela napas. Dilucutinya cincin satu-satunya itu, membiarkan jari tengahnya telanjang.

“Wadah yang sering dipakai buru katak pasti juga dimantrai!” teriak warga satunya lagi.

“Hah? Ini namanya perampokan! Saya nanti berburu katak pakai apa? Jelaskan ini semua, Pak RT,” Tomo tercekik nafasnya sendiri.

“Maafkan kami, ini demi keselamatan dan kedamaian kampung. Segalanya mesti ada pengorbanan. Lagipula, kamu kan punya cukup uang.”

Pengorbanan apanya? Ini namanya penindasan, pertama cincin, kedua wadah, ketiga? Tomo hanya bisa menggeram dalam hati. “Ada lagi?” ia melotot.

“Sudah cukup, Mo. Kami pamit, terima kasih.”

Orang-orang itu lenyap satu per satu. Tomo hanya bisa melihat punggung-punggung mereka. Terlebih lagi, pada jari Pak RT yang memakai cincinnya. Ia baru sadar, perampasan dan pembicaraan sambil berdiri tentu bukan pertanda baik. Biasanya ia dengan ramah menyilakan tamu duduk di ruang tamu. Tapi kali itu berbeda, ia juga sadar, tak mungkin memasukkan mereka semua.

***

Gelegar guruh malam ini semakin menjadi-jadi dan merusak suasana hati Tomo. Gelegar itu mengingatkan Tomo bahwa ia tak lagi memiliki kenang-kenangan dari istrinya. Ia merasa benar-benar hidup sendiri. Bertambah pula sorot senter korek yang cuma kedap-kedip tidak keruan. Tetes-tetes hujan mulai tekun berjatuhan dari langit.

Rupanya malam belum berpihak padanya. Tak satu pun katak berhasil ditangkap. Angin malam seperti menampar-nampar pipinya. HP tulalit yang biasa untuk melihat penghitung waktu pun mati kehabisan daya.

Hujan yang mengguyur kepekatan malam ini terlalu deras, memadati sisi-sisi sawah dan bebukitan yang mengelilinginya. Berbilah-bilah bambu di sudut sawah gemeretak terpukul angin yang mengandung air. Bukit yang bagaikan onggokan batu hitam, mematung, menyoroti lelaki berdahi lapang itu. Laksana siluet di antara kilat-kilat yang pecah.

Tiba-tiba, sebuah teriakan sendu diiringi tangis, terloncat keras dari tengah-tengah sawah. Suara keputusasaan. Tomo berteriak tak tentu. Suaranya menjulang ke angkasa, lalu turun ke tengah-tengah kampung bersama hujan. Seluruh warga kampung menangkap suara itu dengan senyuman iblis!

***

Purworejo, 2015

 

 

Seto Permada

lahir tanggal 12 Oktober 1994. Penulis asal Purworejo ini merupakan alumnus SMA Negeri 4 Purworejo. Kini ia tengah bekerja sebagai pengrajin bata merah.

Related posts

Leave a Comment

16 − seven =