puisi 

Puisi-Puisi Eddy Pranata PNP

Eddy Pranata PNP, sekarang tinggal di Cirebah –sebuah dusun di pinggiran barat Banyumas, Jawa Tengah. Lahir 31 Agustus 1963 di Padang Panjang, Sumatera Barat.  Sehari-hari beraktivitas di  Pelabuhan Tanjung Intan Cilacap. Buku kumpulan puisi tunggalnya: Improvisasi Sunyi (1997), Sajak-sajak Perih Berhamburan di Udara (2012), Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur (2015), Ombak Menjilat Runcing Karang (2016). Puisinya dipublikasikan di Horison, Aksara, Kanal, Jejak,Indo Pos, Suara Merdeka, Padang Ekspres, Riau Pos,  Kedaulatan Rakyat, Fajar Sumatera, Lombok Pos, Harian Rakyat Sumbar, Singgalang, Haluan, Satelit Pos, Radar Banyuwangi dan lain-lain. Puisinya juga terhimpun di banyak antologi bersama.

 

Serbuk Edelweis

 

sudah berapa lama kaulupa

pada jalan berbatu mendaki menikung

yang di kanan kirinya tumbuh edelweis

di puncak bukit sunyimu?

 

aku sekarang tengah melewati

jalan berbatu menurun menikung

yang di kanan kirinya tumbuh edelweis

di puncak bukit sunyiku

 

sepertinya tidak jauh berbeda aura dan udaranya

senyap dan sejuk dan kabut mengapung

: sepertinya kita pernah saling peluk

saling bisik; ‘akan berapa lamakah

pertemuan di bukit ini

akan seberapa dalamkah pemahaman

pada serbuk edelweis’

 

kabut mengapung

ou, jalan berbatu mendaki menurun menikung

sepertinya pernah saling peluk

saling bisik, ‘akan seberapa dalamkah

pemahaman pada serbuk edelweis’

ou, serbuk edelweis!

 

Cilacap, 23 Maret 2016

 

Selembar Puisi tak Pernah Sudah

 

chin; bila saja amarahmu meluap serupa api

puisilah yang akan memadamkannya

bila rasa bencimu meradang serupa kilat pedang

puisilah yang akan menumpulkannya

bila hatimu mengeras serupa besi baja

puisilah yang akan melunakkannya

bila rindumu bergelora serupa debur ombak

puisilah yang akan melandaikannya

bila cintamu menggebu serupa gunung meletus

puisilah yang akan menampung dan menenangkannya

bila sakit hatimu serupa daging diiris-iris sembilu

puisilah yang akan menetralkannya

yang akan menyembuhkannya

 

tak banyak yang bisa kuberikan kepadamu, chin

hanya gelora laut, karang-karang, pasir-pasir pantai

dan selembar puisi yang tak pernah sudah

tak pernah sudah!

 

Cilacap, 22 Maret 2016

 

Dan Rambutmu Memutih Jua

 

suatu pagi entah pada pertemuan yang keberapa

engkau berbisik ke telingaku : ‘bila

kemudian langit tak runtuh jua

sampai akhir hayatku

kumau batucinta yang bercahaya

kumau pagi dan senja dan malam harum bunga

kumau dinding sunyi runtuh jua’

 

airmatamu berguguran

gemuruh laut menghempaskan ombak

memecah di tebing-tebing karang

berderai di pasir-pasir pantai

aku menyimpan puisi yang belum selesai

dan basah oleh airmatacintamu

dalam catatan sejarah kecilku

 

dan rambutmu memutih jua

daun kunyit telah mengering, jatuh dari kempitanmu

: kesombongan apa lagi yang hendak kaupelihara

pintu maut senantiasa menutup membuka

tapi cinta tumbuh menyala

di mersik ranting usia

ou, cinta, menyeret segala duka!

 

Padang, 14 Maret 2016

 

Related posts

Leave a Comment

six − 1 =